Sing For Absolution
Sabtu, 20 Oktober 2012
Oleh : Fajrul Iman Ibrahim
Sepintas ketika kita membaca judul diatas, tanpa sadar ingatan kita akan membawa kita kepada sebuah lagu yang dibawakan oleh sebuah band besar MUSE. Tak ada salahnya pula kita terbawa pada dalam suasana kunci D minor dan bergerak pada tempo yang lambat yang sukses mengantar kita untuk sedikit rileks dengan beat yang teratur. Bagi personil MUSE sendiri, lagu ini memberikan efek dramatis tersendiri bagi mereka. Lagu ini adalah tentang menemukan pengampunan melalui menyanyi dan MENULIS musik. Namun bagi saya secara pribadi, lagu ini cukup memberi efek menenangkan dalam sebuah perenungan setiap malamnya dan jikalau sedikit mencuri pemaknaan yang diberikan oleh MUSE apabila benar dengan menulis dapat memberikan sensasi pengampunan, maka saya rasa tak ada salahnya kalau saya curahkan sedikit waktu untuk membagi tulisan ini.
Dalam perjalanan hidup sehari-hari kita menemui hamparan kesalahan yang kita perbuat sepanjang hari. Bagi manusia-manusia yang sebaik-baiknya rasanya tak cukup waktu semalaman untuk merenungkan kesalahan hari tersebut. Kita bukan tak sadar bahwa hari esok masih menyimpan banyaknya kesalahan yang secara sadar maupun tak sadar akan kita tebarkan. Namun apakah kita mampu untuk merubah ataupun sekedar meminimalkannya? Renungan diri inilah yang menjadi dasar dari filsafat dan telah ada sejak awal pencatatan sejarah manusia.
Manusia sebagai individu dalam konteks lingkungan sosialnya adalah makhluk monodualis yang keberadaannya tak luput dari rentetan kesalahan. Ketika dalam interaksinya berbeda paham dan pandangan dengan orang lain, secara alamiah individu manusia terbuka terhadap emosi yang besar dalam mempengaruhi keputusan ataupun tingkah laku seseorang.
Pengalaman subyektif dari seorang individu berpusat kepada kesadaran dirinya yang memperbolehkan adanya persepsi eksistensinya sendiri seiring dengan perjalanan waktu. Kesadaran tersebut yang akhirnya mempersepsikan adanya kehendak bebas (Freewill) bagi seorang individu. Hal yang paling terakhir inilah yang mencakup total aspek mental dan emosional individu. Menurut Sigmund Freud dalam Praktek Psikoanalisisnya mengungkap bagian dari alam bawah sadar dan menyusun diri manusia menjadi Ego, Superego, dan Id.
Dalam konteks berorganisasi, timbulnya berbagai ide demi tumbuh dan berkembangnya organisasi adalah sebuah hal yang lumrah terjadi. Namun berbagai benturan-benturan perbedaan pahaman dan pandangan juga merupakan hal yang lumrah dalam perjalanan dinamika manusia-manusia dalam berorganisasi. Perbedaan pengalaman subyektif individu-individu di dalam organisasi menjadi variabel yang dominan dalam berbagai pertentangan-pertentangan ide antar individu menyangkut pengambilan keputusan ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi. Tentu saja dalam hal ini, ada pihak yang dimenangkan, namun tak sedikit pula pihak yang dikorbankan ataupun tidak terpuaskan.
Benturan demi benturan yang terjadi sepanjang perjalanan waktu bukannya menjadi hal yang membangun, malahan akan memperkeruh suasana dan mempunyai potensi yang merusak apabila terus menerus terjadi pembiaran. Selain renungan diri, dibutuhkan suatu solusi tepat yang bersifat nyata dan terencana dalam mengelola setiap benturan yang terjadi.
Dibutuhkan sebuah Rekayasa Sosial untuk dapat mencapai sebuah perubahan sosial secara terencana. Menurut William Dahl : ”Rekayasa Sosial (Social Engineering) adalah campur tangan gerakan ilmiah dari visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial.” Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat : “Rekayasa sosial terjadi karena terdapat beberapa kesalahan pemikiran manusia dalam memperlakukan masalah sosial yang disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan Intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan berpikir.”
Salah satu bentuk kesalahan pemikiran yang paling popular adalah dogma atau pandangan yang mengemukakan bahwa seorang Pecinta Alam atau Organisasi Pencinta alam tidak usah berpikir hal yang macam-macam (mungkin maksudnya kondisi sosial dan politik) ; seorang pecinta alam atau organisasi pecinta alam hanya perlu mendaki gunung, tak terikat oleh hal-hal yang lain…atau misalnya proses pengambilan Nomor Registrasi Anggota Penuh tak usah dipersulit/diperketat/dan dikait-kaitkan dengan proses yang lain-lain (mungkin hal yang bersifat keilmuan). Saya rasa tak mungkin dalam sebuah organisasi Pencinta Alam kita tidak menemukan pandangan-pandangan klasik seperti itu, sementara sebagai sebuah organisasi; apalagi sebuah organisasi Kader; para kader berhak atas ilmu pengetahuan, informasi, dan sebuah pengalaman yang baru. Itu sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membaginya kepada mereka.
Untuk itu perlu dilakukan sebuah Rekayasa Sosial agar kesalahan-kesalahan berpikir seperti itu dapat diatasi. Rekayasa sosial timbul sebagai akibat adanya sentiment atas kondisi organisasi beserta para anggotanya yang menuntut adanya perubahan. Hal itu dapat dicapai dengan melakukan perombakan paradigma organisasi atas sebuah perubahan. Dalam hal ini Rekayasa Sosial berperan sebagai sebuah gerakan ilmiah untuk menggeser cara pandang organisasi kearah yang benar sesuai dengan visi atau tujuan organisasi. Pada dasarnya pola-pola rekayasa sosial sebagai alat control sosial tidak dimaksudkan untuk mengendalikan anggota organisasi tetapi dengan cara membuka ruang-ruang bagi para anggota organisasi agar dapat beraktualisasi sehingga dapat terlihat dengan jelas peran dari para anggota dalam proses perubahan sosial di dalam sebuah organisasi.
Dan pada akhirnya apabila rekayasa sosial telah berjalan dengan efektif, kiranya dapat menjadi alat pemersatu dalam sebuah organisasi. Tidaklah menafikan tidak terjadinya lagi sebuah perbedaan pendapat melainkan lebih kearah mengontrol ataupun mengelola perbedaan pendapat kearah yang lebih positif dan bersifat membangun Organisasi maupun bagi anggota-anggota di dalamnya.
Lantunan SING FOR ABSOLUTION milik MUSE masih terdengar dalam suasana keseriusan, pelan-pelan saya kecilkan Volume suaranya agar menjadi sayup-sayup. Saya sadar dan paham betul akan efek dari tulisan ini, tetapi apakah saya harus salto dan sambil berteriak WOW gituuu..?? Life Goes On, bagi saya pengampunan datangnya dari diri sendiri dan dari yang MAHA MEMILIKI. Saya menulis untuk lebih merasakan nuansa ataupun sensasi dari pengampunan tersebut. Jika MUSE bernyanyi untuk mendapatkan pengampunan, tak ubahnya saya menulis untuk belajar mengampuni diriku sendiri.
Sayup-sayup lantunan SING FOR ABSOLUTION milik MUSE masih bergema, di sela-sela menuliskan Curhatan ini iseng-iseng buka Timelineku nemuin Kicauan milik seorang teman yang isinya : “Pasangan yang paling harmonis adalah apabila salah satunya pintar dan egois sementara yang satunya pemaaf dan bodoh.” #BatinBergolak RT ngga yach…??
*Wassalam*
Siau Timur, 20 Oktober 2012
Label:
About MAHESA,
Kolom Curhat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukkan Komentar Anda