Pages

Update

Dollar Vs Rupiah

Selasa, 11 Oktober 2011

Artikel ini pernah dimuat dalam Buletin ANI Jawa Barat.

Seperti yang kita alami, kita dengar, kita lakukan, Indonesia adalah bangsa yang mengaku sebagai kaum religius dan beragama. Dalam persoalan tersebut kita gemar memicingkan sebelah mata pada pihak lain. Dengan enak dan tanpa rasa sungkan, kita menyebut bangsa atau orang lain yang tidak seiman dengan sebutan "tidak agamis", "calon penghuni neraka", "penganut aliran sesat", "atheis", dll

Hal ikhwal kepercayaan/agama tentu tidak ada sangkut pautnya dengan numismatika yang kita cintai, kecuali jika kita bersedia membuka forum renungan dengan membandingkan dua macam benda yang sangat kita kenal yaitu USD dengan Rupiah. Sejenak kita singkirkan segala syak wasangka. Mari kita tengok perbandingan antar keduanya.

Dahulu pada uang Amerika Serikat tertulis "Payable to the Bearer on Demand" (kata yang semakna dengan betaalt aan Toonder dalam uang kertas Netherlands Indies) yang berarti uang tersebut ditopang oleh cadangan emas dan perak yang dimiliki oleh pemerintah Amerika. Namun semenjak adanya dekrit Franklin D. Roosevelt tahun 1933 dan ditambah lagi dengan tindakan Richard M. Nixon di tahun 1971, uang kertas Amerika, negara yang kita katakan dengan nada merendahkan: sekuler dan hedonis, selalu mencantumkan kalimat "In God we trust"

"PAYABLE TO THE BEARER ON DEMAND"
Educational Series 1896



"IN GOD WE TRUST"
1 USD mulai 1935

Terjemahan bebas kalimat tersebut di atas kurang lebih "KepadaNya-lah kami berserah diri" atau "Lillahita’ala". Tertulis demikian karena semenjak itu uang Amerika semata-mata berbasis pada kepercayaan pemakai terhadap eksistensi negara Amerika atau fiat. Putus sudah ikatan antara emas dengan dollar. Pemerintah Amerika tidak memiliki kewajiban memiliki sejumlah cadangan emas untuk menopang setiap dollar uang yang diterbitkannya (meskipun mereka sebenarnya memiliki emas sebanyak 4.600 ton yang tersimpan di The Fort Konx Bullion Depository – Kentucky Utara, 1.781 ton di West Point, 1.368 ton di Denver dan kurang dari 1000 ton di beberapa bagian Federal Reserve. Total emas yang dimiliki berkisar 8.000 ton, bernilai $ 100 milliar *). Mereka berhak mencetak dollar sebanyak keperluannya. Oleh karena itu jika karena sesuatu hal Amerika Serikat karam seperti Soviet atau Yugoslavia, maka tanpa ragu-ragu pergunakanlah uang kertas dollar yang kita miliki sebagai wall paper kamar tidur anak.

Sebaliknya uang kertas bangsa Indonesia nan religius, semenjak kelahirannya melalui ORI tahun 1945 selalu mencantumkan kalimat: "UNDANG-UNDANG. Barang siapa jang meniru atau memalsu uang kertas Negara, atau dengan sengadja mengedarkan, menjimpan ataupun memasukkan kedaerah Republik Indonesia uang kertas tiruan atau palsu, dapat dihukum menurut Kitab Undang2 Hukum Pidana pasal 244, 245 dan 249"

Kemudian kalimat tersebut disederhanakan menjadi:
"Barang siapa meniru, memalsukan uang kertas dan / atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara"

Kalimat ini terus dicantumkan pada setiap uang kertas terbitan Bank Indonesia hingga tahun 1998. Rupanya negara kita selalu berpikiran negatif, bahkan terhadap rakyatnya sendiri.

Kalimat pada uang kertas Indonesia
ORI 1 SEN 1945 + Rp 50.000 W.R. SUPRATMAN 1999


Mungkin karena malu hati dan disadarkan oleh cobaanNya yang beruntun yang menimpa kita pada rentang tahun tersebut, maka pada tahun 1999 melalui uang kertas Rp 50.000 Wage Rudolf Supratman kalimat tersebut di atas diubah menjadi: "Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai …". Meski demikian kemerosotan nilai Rupiah terhadap USD tetap berlanjut, terus … terus… dan terus.

Om Pasikom: KOMPAS, 15 Maret 2001

Ilustrasi di atas memberi petunjuk sederhana bahwa jika Sang Pencipta berpihak pada kita seperti klaim yang kita bangga-banggakan selama ini, tentu kondisi kita tidak lebih buruk dibandingkan masyarakat di negara lain. Namun bagaimana jika sebaliknya yang terjadi? Adakah di dalam hati kita sekelumit keinginan untuk melakukan introspeksi? Ataukah tetap mencari kambing hitam kekalahan diri yaitu karena di-dzolimi bangsa lain? Meski terasa sulit sewajarnya bagi kita untuk melakukan mawas diri bahwa keyakinan yang kita anut bukanlah tolok ukur kebenaran mutlak. Sangat janggal bila kita selalu ingin memonopoli kebenaranNya sehingga lupa dan menutup diri bahwa kebenaran hakiki milikNya adalah milik semua makluk dan benda yang ada di alam raya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukkan Komentar Anda

 

Most Reading

Popular Posts