Saat kita masih SD, kita pernah diajarkan bahwa Kekaisaran Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II setelah "cahaya seterang seribu matahari"(1) meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Lawan yang begitu teguh dan tangguh, yang menolak menyerah meskipun sudah semakin terpojok, dengan mudah ditundukkan lewat ledakan dahsyat yang memusnahkan ratusan ribu nyawa dan dua kota industri besar, dan juga menyisakan radiasi kejam yang merusak genetik keturunan kota tersebut untuk selanjutnya. Sejarah seolah berusaha memberitahu kita, bahwa deterensi(2) nuklir merupakan cara yang efektif untuk menyelesaikan konflik, dan maka keberadaan senjata nuklir sepatutnya diperbolehkan.
Bom Atom di Hiroshima (kiri) dan Nagasaki (kanan). Gambar diambil dari Angkatan Darat Amerika Serikat |
Itulah yang selama ini dipahami. Akan tetapi, sejarah itu relatif dan selalu menyisakan ruang untuk rekonstruksi. Pemahaman yang sudah ada pun digugat agar kita memperoleh perspektif yang lebih kaya dan tepat. Adalah Tsuyoshi Hasegawa, seorang sejarawan dari University of California, Santa Barbara, yang melakukan gugatan tersebut.
Setelah serangan mendadak ke Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Jepang dengan sangat cepat menguasai Malaya, Singapura, Borneo Utara, Burma, Hindia Belanda, Filipina, dan Nugini. Alur perang baru berbalik setelah kekalahan Jepang di Pertempuran Midway pada 4-7 Juni 1942. Perlahan-lahan Jepang mulai terusir dari pulau-pulau di Pasifik, hingga akhirnya pada tahun 1945 Jepang telah terpojok. Saat itu sudah tampak jelas bahwa Jepang akan kalah, namun mereka tak kunjung menyerah, sampai AS harus menyiapkan serangan besar-besaran yang dijuluki Operasi Downfall.
Menurut Hasegawa, pemimpin Jepang saat itu sudah tahu bahwa mereka akan kalah. Apa yang mereka upayakan adalah mempertahankan wilayah, menghindari pengadilan kejahatan perang, dan mengamankan sistem kekaisaran. Mereka juga mencoba memanfaatkan Uni Soviet yang saat itu masih netral di Asia sebagai mediator dengan Amerika Serikat. Wilayah di Asia bisa ditawarkan sebagai gantinya.
Pada 6 Agustus, "cahaya seterang seribu matahari" dijatuhkan oleh pesawat Enola Gay di Hiroshima. Hasegawa dalam bukunya "Racing the Enemy" menyatakan bahwa pemimpin Jepang tidak panik akan itu. Sebagai tanggapan, Menteri Luar Negeri Shigenori Togo pada tanggal 7 Agustus mengirim telegram ke duta besar di Moskwa yang memerintahkan permintaan mediasi kepada Uni Soviet. Sayangnya, harapan tersebut pupus sudah. Pada 9 Agustus, Soviet menyatakan perang kepada Jepang dan langsung menyerbu Manchukuo, negara boneka Jepang di Manchuria. Tentu saja ini berbahaya, karena jika Jepang diduduki oleh negara komunis tersebut, sistem kekaisaran tradisional Jepang tidak akan bertahan. Maka lebih baik menyerah kepada Washington daripada Moskwa. Akhirnya pada 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Peta serangan Soviet ke Manchuria. Gambar diambil dari Pemerintah Rusia |
Ternyata serangan mendadak Soviet-lah yang menyebabkan Jepang menyerah. Maka apa peran pengeboman atom dalam perang ini? Menurut Hasegawa, bom itu hanya membuat Shigenori Togo langsung mengirim pesan ke Moskwa. Jepang tidak langsung menyerah karena itu. Memang korban bom atom itu sangat besar, namun nyatanya serangan terhadap penduduk tidak membuat Jepang menyerah. Sebelumnya, pada awal Maret, beberapa pesawat pengebom B-29 Super Fortress melancarkan kampanye pemboman di Tokyo. Korban kebakaran yang diakibatkan bom tersebut dikatakan lebih besar daripada di Hiroshima. Bahkan,menurut artikel International Security pada tahun 2007, enam puluh kota di Jepang telah hancur pada saat Hiroshima diserang. Hasegawa mengatakan, jika Jepang tidak menyerah karena Tokyo, maka mereka juga tidak akan menyerah karena Hiroshima.
Itulah rekonstruksi sejarah yang telah dilakukan oleh Hasegawa, yang sekaligus mendamaikan sudut pandang yang bertentangan antara Jepang, Soviet, dan AS. Rekonstruksi tersebut juga memberikan kita pelajaran, bahwa ternyata penghancuran pusat penduduk tidak membuat suatu negara langsung menyerah. Pada Februari 1945, Sekutu mengebom Dresden. Korban jiwa berjatuhan, tetapi Jerman tidak menyerah. Begitu pula, saat Hitler mengebom London, Winston Churchill menolak mengibarkan bendera putih.
Deterensi nuklir pun terbukti tidak bisa mendamaikan dunia, justru malah berbahaya, apalagi jika kedua negara sama-sama punya senjata nuklir. Jika tidak berhati-hati, skenario "musim dingin nuklir" bisa terjadi, dan korban jiwa akan berjatuhan akibat kekurangan pangan, kedinginan, dan radiasi. Maka satu-satunya alasan yang tersisa untuk menyimpan senjata nuklir adalah untuk menghancurkan asteroid yang mengancam Bumi. Penggunaan selain itu sudah sepatutnya dilarang, nonproliferasi harus ditegakkan.
Satu sudut pandang lagi yang dihasilkan dari rekonstruksi ini adalah: Amerika Serikat telah melakukan kejahatan perang. Pengeboman yang membabi buta telah menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit dari pihak penduduk. Pengaruh setelah ledakan bom atom pun masih menghantui Hiroshima dan Nagasaki hingga sekarang. Kejahatan perang itu selama ini dibenarkan akibat perspektif sejarah yang lama, yaitu bahwa serangan nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki telah menghentikan perang. Rekonstruksi memang telah mengubah perspektif kita, akan tetapi ada satu hal yang tidak berubah. Kejahatan tersebut akan terus dibenarkan, kecuali jika di masa lalu akibat keajaiban Jepang berhasil memenangkan perang, memperoleh ganti rugi yang setimpal, dan mengadakan pengadilan ala Nuremberg terhadap dalang pengeboman di daratan Jepang, dari Harry Truman sampai orang-orang yang terlibat dalam Proyek Manhattan.
Catatan kaki
- "Cahaya seterang seribu matahari" merupakan istilah yang digunakan oleh J.R. Oppenheimer (salah satu dalang lahirnya senjata nuklir) dalam gumamannya saat menyaksikan ledakan bom atom pertama. Gumaman itu sendiri dipetik dari Bhagawad Gita, “Andaikan ada cahaya seterang seribu matahari yang mampu memecahkan langit, cahaya itu mirip dengan kemuliaan Yang Mahakuasa.... Akulah kematian, penghancur dunia.”
- Deterensi adalah penggunaan "kemampuan menghancurkan lawan" sebagai posisi tawar. Misalnya dalam perang dingin, penyimpanan senjata nuklir bertujuan untuk mengurungkan niat lawan karena daya hancurnya yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukkan Komentar Anda